“Kamu, bener-bener payah Ma, ini kunci cadangan kita yang terakhir, setelah dua kunci rumah kamu hilangkan juga!”
“Maaf Pa, tapi seingat Mama tadi naruhnya di saku celana.”
“Kenapa naruh di situ, gak tahu apa kalo naruh di saku pasti jatuh?! Aarghhh…!!” Teriak Handoko kesal dan marah. Tatapan matanya melotot ke arah istrinya yang sedang sibuk mengaduk-aduk isi tasnya, mencari kunci rumah mereka.
“Sekarang gimana coba? Mau didobrak, dan itu berarti semalaman rumah kita tanpa pintu?”
“Sabar dong, ini kan sedang dicari?” teriak balik istrinya yang mulai terlihat kesal dan panik.
“Sabar..sabar.. lupamu itu sudah kelewatan, Ma. Sebelumnya kunci terjatuh di taksi, coba kalo supirnya jahat, bisa dipake buat rampok rumah kita. Sebelumnya juga lupa matiin kompor sampai pancinya hangus, nyaris saja kita kehilangan rumah dan isinya”.
“Kok kamu jadi ngungkit-ngungkit gitu sih, aku kan sedang nyari, bukannya bantuin, malah ngomel.”
“Aku ngomel karena kamu tuh gak pernah dengar omonganku. Berkali-kali kubilang, simpan kunci di tas ato dompet, biar tidak jatuh. Masih saja ngeyel nyimpan di saku celana. Sebentar lagi kayaknya kamu bakal lupa sama anak dan suamimu sendiri."
“Kok kamu gitu sih Pa, ngomongnya. Kamu keterlaluan,” jerit istrinya sambil berlari meninggalkan dia dan anak-anaknya.
Melilhat itu amarah Handoko semakin meluap. Dia merasa dilecehkan oleh istrinya. Tak digubris tangisan kedua anaknya. Segera dia memijit speed dial istrinya, namun tak kunjung ada jawaban. Lima kali dia mencoba, namun hasilnya nihil. Aarghhh.. Handoko menjerit dalam hati melampiaskan segala rasa marahnya pada sang istri.
Namun tangisan kedua anaknya yang semakin keras dan para tetangga yang sekarang mengerubunginya, membuat akal sehatnya kembali. Handoko pun nekat menjebol pintu rumahnya, lebih baik terjaga semalaman di depan pintu yang tak berdaun, daripada harus tidur di rumah tetangga dengan rentetan pertanyaan dari mereka.
Dua jam berlalu, istrinya tak kunjung datang. Teleponnya pun tak ada sahutan. Handoko merutuki istrinya dalam hati. Serentetan omelan siap keluar dari bibirnya ketika hp-nya berdering dengan no istrinya berkedip di layar ponsel. Namun mulutnya mendadak kelu, dan dengan kekuatan yang tak terduga, dia segera berlari mengendarai mobilnya. Istrinya kecelakaan, dan sekarang ada di rumah sakit. Begitu kata polisi yang menelpon lewat ponsel istrinya.
Kesal dan marah Handoko berubah sesal, dan segera menguap menjadi kelegaan tak terkira, ketika dilihat istrinya sedang duduk di ranjang rumah sakit. Tak kurang suatu apa. Hanya ada perban di dahinya. Istrinya terlihat cantik, Handoko pun berlari menghampirinya, siap untuk memeluknya.
“Ma, Mama tidak apa-apa kan? Syukurlah. Maafkan Papa ya!”
Istrinya terlihat kaget, bangkit dari duduknya, menghindari pelukannya. Sebuah logam jatuh dari pangkuan istrinya. Kunci rumahnya!!! Gemerincing bunyinya ketika menyentuh lantai. Pelan saja. Sepelan suara istinya.
“Kamu siapa??!”
(irfach)
“Maaf Pa, tapi seingat Mama tadi naruhnya di saku celana.”
“Kenapa naruh di situ, gak tahu apa kalo naruh di saku pasti jatuh?! Aarghhh…!!” Teriak Handoko kesal dan marah. Tatapan matanya melotot ke arah istrinya yang sedang sibuk mengaduk-aduk isi tasnya, mencari kunci rumah mereka.
“Sekarang gimana coba? Mau didobrak, dan itu berarti semalaman rumah kita tanpa pintu?”
“Sabar dong, ini kan sedang dicari?” teriak balik istrinya yang mulai terlihat kesal dan panik.
“Sabar..sabar.. lupamu itu sudah kelewatan, Ma. Sebelumnya kunci terjatuh di taksi, coba kalo supirnya jahat, bisa dipake buat rampok rumah kita. Sebelumnya juga lupa matiin kompor sampai pancinya hangus, nyaris saja kita kehilangan rumah dan isinya”.
“Kok kamu jadi ngungkit-ngungkit gitu sih, aku kan sedang nyari, bukannya bantuin, malah ngomel.”
“Aku ngomel karena kamu tuh gak pernah dengar omonganku. Berkali-kali kubilang, simpan kunci di tas ato dompet, biar tidak jatuh. Masih saja ngeyel nyimpan di saku celana. Sebentar lagi kayaknya kamu bakal lupa sama anak dan suamimu sendiri."
“Kok kamu gitu sih Pa, ngomongnya. Kamu keterlaluan,” jerit istrinya sambil berlari meninggalkan dia dan anak-anaknya.
Melilhat itu amarah Handoko semakin meluap. Dia merasa dilecehkan oleh istrinya. Tak digubris tangisan kedua anaknya. Segera dia memijit speed dial istrinya, namun tak kunjung ada jawaban. Lima kali dia mencoba, namun hasilnya nihil. Aarghhh.. Handoko menjerit dalam hati melampiaskan segala rasa marahnya pada sang istri.
Namun tangisan kedua anaknya yang semakin keras dan para tetangga yang sekarang mengerubunginya, membuat akal sehatnya kembali. Handoko pun nekat menjebol pintu rumahnya, lebih baik terjaga semalaman di depan pintu yang tak berdaun, daripada harus tidur di rumah tetangga dengan rentetan pertanyaan dari mereka.
Dua jam berlalu, istrinya tak kunjung datang. Teleponnya pun tak ada sahutan. Handoko merutuki istrinya dalam hati. Serentetan omelan siap keluar dari bibirnya ketika hp-nya berdering dengan no istrinya berkedip di layar ponsel. Namun mulutnya mendadak kelu, dan dengan kekuatan yang tak terduga, dia segera berlari mengendarai mobilnya. Istrinya kecelakaan, dan sekarang ada di rumah sakit. Begitu kata polisi yang menelpon lewat ponsel istrinya.
Kesal dan marah Handoko berubah sesal, dan segera menguap menjadi kelegaan tak terkira, ketika dilihat istrinya sedang duduk di ranjang rumah sakit. Tak kurang suatu apa. Hanya ada perban di dahinya. Istrinya terlihat cantik, Handoko pun berlari menghampirinya, siap untuk memeluknya.
“Ma, Mama tidak apa-apa kan? Syukurlah. Maafkan Papa ya!”
Istrinya terlihat kaget, bangkit dari duduknya, menghindari pelukannya. Sebuah logam jatuh dari pangkuan istrinya. Kunci rumahnya!!! Gemerincing bunyinya ketika menyentuh lantai. Pelan saja. Sepelan suara istinya.
“Kamu siapa??!”
(irfach)
No comments:
Post a Comment