Ada yang beda pada Pengajian Khairunnisa di awal Maret 2011 ini. Ada tiga pria terselip di antara sekumpulan ibu-ibu cantik. Para pria yang ganteng-ganteng... tentunya menurut para istrinya ya, karena kalau bagi saya tetep yang ganteng ya suamikuJ Dua pria berjas hitam itu ternyata tamu istimewa dari Jakarta. Dua pengusaha dari Entrepreneur University (EU). Rupanya mereka sedang ada pelatihan kewirausahaan di Kuwait. Dan ibu-ibu cantik shalihah ini beruntung dikunjungi mereka. Tak sekedar kunjungan biasa, tapi mereka juga membagi kisah dan kiat sukses berbisnisnya. Gratis pula, padahal denger-denger kalau ikut kelas mereka harus mengeluarkan uang jutaan lho.
Gerobak Dagangan Ambruk di Awal Jualan
Pengusaha pertama meminta untuk dipanggil Mas Mono. Nama lengkapnya adalah A. Pramono. Dan beliau adalah pemilik Ayam Bakar Mas Mono, yang sudah punya cabang di mana-mana. “Ibu-ibu beruntung lho bisa bertemu dengan saya, Mas Mono?” begitu katanya berkelakar. Memang benar kami beruntung karena ternyata Mas Mono ini termasuk orang yang super duper sibuk. Profilnya sudah mejeng di berbagai koran dan majalah kenamaan di Indonesia. Beberapa kali menjadi bintang iklan juga. Dan belakangan ini sibuk keliling menjadi mentor wirausaha. Bahkan sampai ke gurun pasir ini J
Lelaki kelahiran Madiun ini hanya menamatkan pendidikannya sampai SMA. Kemudian merantau ke Jakarta, bekerja sebagai office boy. Pekerjaan yang membanggakan baginya, saat itu! Orang tua dan para tetangga kampung tahunya dia bekerja di kantor yang mentereng, berAC, ada banyak komputer, dan tentunya nyaman. Namun kebanggaan itu luntur seketika, ketika bapaknya terbaring di rumah sakit, dan Mas Mono tak punya uang untuk membantu membiayai pengobatannya. Tamparan yang sangat keras baginya, sebagai seorang anak, tak mampu membantu ketika orang tuanya sedang sakit.
Akhirnya Mas Mono pun mengambil keputusan yang berani. Memajukan dirinya, keluar dari pekerjaannya sebagai office boy. “Saya tak pernah pakai kata mengundurkan diri ya, karena bagi saya dengan keluar dari pekerjaan itu, berarti saya sedang memajukan diri saya,” katanya tegas. Berjualan gorengan menjadi pilihannya mencari nafkah selepas keluar dari pekerjaannya sebagai office boy. Mas Mono pun keliling dari satu sekolah ke sekolah lain menjajakan gorengannya. Sehari hanya bisa mengantongi uang antara 15 ribu-20 ribu rupiah. Masa-masa yang sulit baginya.
Dan Mas Mono pun mulai meragukan keputusannya berjualan gorengan, ketika ibunya dari Madiun datang mengunjunginya ke Jakarta. Ibunya sedih melihat putra kesayangannya menjadi penjaja gorengan, keliling dari satu tempat ke tempat lain, dari pagi sampai sore hari, hanya mendapatkan uang 20 ribu rupiah. Ibunya lebih suka kalau Mas Mono kerja di kantoran saja, walau hanya sekedar menjadi office boy.
Kesedihan ibunya, menjadi tamparan kedua baginya. Mas Mono pun memutuskan untuk beralih usaha, menjual ayam bakar. Berjualan di kaki lima, tepatnya di jalan Soepomo, seberang kampus Universitas Sahid, Pancoran. Awal berjualan ayam bakar, modalnya 500 ribu rupiah untuk membeli gerobak, dan lima ekor ayam. Malang nian, pertama berjualan, gerobaknya ambruk, ayam-ayamnya pun jatuh. “Rupanya gerobak untuk jualan ayam bakar itu lain dengan gerobak gorengan, harus lebih kokoh karena membawa tempat nasi yang berat,” jelas Mas Mono menganalisa gerobaknya yang ambruk di awal dia berjualan ayam bakar.
“Saya lap ayam-ayam yang jatuh itu satu persatu, biar bisa dijual,” lanjut mas Mono mengenang kisah awalnya berjualan. Waakss.. jorok dong?! teriak ibu-ibu pengajian. “Nggak apa-apa, yang penting kan yang beli nggak tahu kalau ayamnya sudah jatuh,” jawab Mas Mono santai. Pesan moralnya hat-hati kalau jajan di luar, belum tentu kebersihannya terjamin, hahaha.... Lanjut ke cerita Mas Mono, jualan ayam bakar itu dijalaninya dari jam 6 pagi sampai jam 2 siang. Jangan berprasangka baik bahwa ayam bakarnya habis setiap jam 2 siang ya, ternyata itu karena jualan di kaki lima itu ada shift-nya. Tiap jam 2 harus gantian dengan penjual lainnya. Jadi laku nggak laku, jam 2 siang itu, Mas Mono harus menutup jualan ayam bakarnya.
Seiring waktu, jualan ayam bakarnya semakin berkembang. Ayam Bakar Mas Mono mulai melayani katering di berbagai kantor. Dua stasiun televisi swasta menjadi langganan tetap kateringnya. Belum lagi melayani katering dari perusahan-perusahaan besar yang mengadakan acara. Sekali order bisa sampai 4000 boks harus dia sedikan. Ayam Bakar Mas Mono pun mulai buka cabang di mana-mana. Karyawannya pun bertambah seiring semakin meluas jaringan usahanya.
“Selama bertahun-tahun saya pakai sistem manajemen laci. Uang hasil jualan saya simpan di laci, begitu mau belanja tinggal buka laci,” jelas Mas Mono ketika ditanya manajemen usahanya. Namun seiring semakin besar usahanya ditambah lagi setelah Mas Mono bergabung dengan Entrepreneur University, maka Ayam Bakar Mas Mono pun memperbaiki sistem manajemennya. Hasilnya tahun 2010, Ayam Bakar Mas Mono sudah bisa mem-franchise-kan usahanya. Suatu prestasi yang besar karena tidak setiap usaha bisa menjadi franchisee.
Walau kini sudah bisa dibilang sebagai pengusaha yang sukses; sudah bisa membangunkan rumah orang tua di kampung, membawa ibunya naik haji bersama, mempunyai mobil mewah, dan tabungan yang mencapai milyar, masih ada yang meragukan tentang usahanya. “Orang-orang kampung itu bilang, masa sih Mono jualan ayam bakar aja bisa kaya begitu?” katanya mengutip omongan tetangganya di kampung. “Mereka nggak tahu kalau saya tak hanya jualan ayam bakar, tapi juga membuka katering,” lanjutnya gemas.
“Orang-orang juga nggak tahu, ketika memulai usaha ini saya harus bangun jam 3 dini hari untuk belanja ke pasar. Jam 4 subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih tidur,” ujar Mas Mono. Menjelaskan kalau kesuksesan yang diraihnya sekarang tidak diperolehnya dengan instan. Tapi diperoleh dengan perjuangan dan kerja keras. Butuh hampir 10 tahun untuk membesarkan Ayam Bakar Mas Mono, dari pertama dia membukanya tahun 2001.
Meneladani Jiwa Wirausaha Rasulullah
Hal senada diungkapkan juga oleh tamu Khairunnisa kedua, bapak Didi Junaidi, pemilik Klinik Laboratorium Primadia. Bahwa semua usaha (bisnis) itu butuh perjuangan yang tak sebentar. Bahkan pak Didi bilang, jiwa wirausaha ini harus dipupuk dari sejak kecil. Seperti Rasulullah Saw yang sudah menjadi pengusaha sejak kecil.Mulai dari bekerja sebagai penggembala kambing. Dilanjut pada usai 12 tahun, mulai ikut berdagang dengan paman beliau, Abu Thalib. Setelah dewasa, beliau pun dipercaya untuk memimpin perniagaan pengusaha sukses saat, Siti Khadijah, yang kemudian menjadi istri beliau.
“Jarang yang tahu, bahwa ketika menikahi Siti Khadijah, Rasulullah memberikan mahar 20 unta muda. Mahar paling besar saat itu. Bahkan sekarang pun masih besar. Kan sekarang kebanyakan pemuda ngasih mahar itu hanya seperangkat alat shalat,” kata pak Didi sambil tertawa. Sayangnya menurut pak Didi, sisi Rasulullah sebagai pengusaha ini jarang dikupas, sehingga tak banyak anak muda yang berminat wirausaha. Kebanyakan mengejar kerja sebagai pegawai di kantoran. Akibatnya jumlah pengusaha di Indonesai masih 0 koma sekian persen. Kalah jauh dari Cina yang hampir di atas 10 persen.
Pak Didi sendiri, sejak kecil sudah terbiasa berjualan di sekolahnya untuk mendapatkan uang saku. Lanjut kuliah, pak Didi beralih usaha fotokopi dan lainnya. Hanya saja selepas kuliah malah terdampar menjadi pegawai di sebuah klinik laboratorium sesuai dengan pendidikannya di Sekolah Analis. “Kerjaan saya waktu itu kayak vampire, ngambilin darah para pasien,” kelakar pak Didi. Namun jiwa wirausahanya tak terbendung. Akhirnya pak Didi pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, membuka usaha klinik sendiri.
Berawal dari mikroskop bekas yang dibelinya, usahanya semakin berkembang. Apalagi setelah bergabung dengan Entrepreneur University (EU), usahanya semakin terarah. Bahkan Klinik Primadia termasuk usaha franchise pertama di bidang kesehatan di Indonesia. Sekarang Klinik Primadia sudah mempunyai cabang di mana-mana. Selain klinik Primadia, pak Didi ternyata merupakan pemegang license Bimbingan Belajar Primagama di seluruah Jawa Barat.
Syukur dan Sedekah sebagai Kunci Sukses
Bila Mas Mono mengatakan kalau kunci suksesnya adalah 3S; Sabar, Syukur, dan Sedekah. Maka pak Didi pun mengatakan hal yang senada. Bahwa pertolongan Allah itu merupakan kunci kesuksesan semua orang. Setiap manusia pasti punya mimpi. Mimpi itu adalah sesuatu yang berusaha diwujudkan, bukan hanya sekedar angan-angan kosong. Tak ada action atau usaha. Setelah itu baru serahkan semuanya pada pertolongan Allah. Dengan memperbaiki dan memperbanyak shalat sebagai bentuk syukur. Memperbanyak bacaan Al-Quran selesai shalat. Dan tak lupa memperbanyak melakukan sedekah disamping membayar zakat sebagai kewajiban. “ Bahkan untuk zakat ini tak cukup hanya 2,5% bila perlu keluarkan zakat sampai 10% dari penghasilan,” tegas pak Didi.
Kunci sukses lain wirausaha adalah keberanian untuk memulainya. Bila tak memulai, bagaimana tahu akan sukses atau gagal. Begitu kata masa Mono yang diamini oleh pak Didi. Gunakan lebih banyak otak kanan, sehingga akan terus termotivasi dan berani. Kalau memakai otak kiri terus maka akan terus banyak pertimbangan dan ragu untuk memulai. Karena menurut mas Mono dan pak Didi terkadang dalam memulai bisnis itu tak perlu banyak pertimbangan. Setelah itu ikut perkumpulan para entrepreneurship, karena tak bisa dipungkiri bahwa untuk memulai dan menjalankan usaha itu pun butuh mentor atau guru.
Ketika usaha sudah mulai berjalan dan mulai menghadapi banyak masalah, maka perbanyak sedekah sebagai penolong. “Terkadang bila saya mau membuat deal, sebelumnya saya selalu sedekah dulu, dalam jumlah yang tak tanggung-tanggung, dan biasanya Allah akan membalasnya berkali bahkan beratus kali lipat,” jelas pak Didi. Dan menurut pak Didi, tak perlu takut tak ikhlas bersedekah bila mengharap pamrih atau ingin dibalas oleh Allah. Karena menurutnya pada siapa lagi kita berpamrih dan meminta bila bukan pada Allah. Dan yakinlah bahwa Allah pasti membalasnya, karena itu sudah janji Allah. “Maka jangan ragu-ragu untuk memberikan sedekah dari harta terbaik kita,” pungkas pak Didi menutup ceramah wirausahanya.
Di akhir ceraramah, mas Mono melakukan hubungan internasional dengan ustadz Yusuf Mansyur di Jakarta. Meminta ustadz Yusuf memotivasi ibu-ibu pengajian Khairunnisa untuk bersedekah sebanyak-banyaknya. Ibu-ibu pun lantas membuka dompetnya masing-masing, tak segan memasukkan uang ke kotak yang spontan disediakan. Dan subhanallah.. saat itu juga terkumpul uang sebesar 165 KD, hampir mencapai 5 juta rupiah. Wow.. jumlah yang sangat besar, karena kotak amal yang diedarkan setiap hari selasa tak pernah disentuh tuh, alhasil isinya pun kosong, hahaha… Semoga selasa-selasa depannya lagi, ibu-ibu tetap rajin bersedekah, tak sekedar karena kedatangan dua eh tiga bapak ganteng… menurut istrinya masing-masing tentunyaJ
No comments:
Post a Comment