Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Apakah bahagia itu? Ketika jalan sunyi ini
serasa tak berujung, maka bahagia adalah hadirmu yang menjelma dalam untaian
kata.
"Semoga
kamu mau membalas suratku ini ya biar kita bisa saling tahu kabar
masing-masing. Kita buktikan siapa yang nilainya paling bagus. Sekolah siapa
yang paling keren."
Paragraf terakhir dari
surat pertamamu. Aku tertawa membacanya. Tak menyangka kamu berani berkirim
surat padaku. Ketika itu kita kelas 2 SMP. Di sekolah yang berbeda. Setelah
enam tahun kita bersaing di sekolah dasar. Saling ejek. Saling unjuk gigi.
Siapa yang paling pintar. Siapa yang paling banyak pengikut. Ketika itu aku
selalu satu langkah di depanmu. Kamu kesal. Aku tertawa jumawa. Namun saat itu
kamu pantas berbangga hati karena terpilih sebagai ketua Osis di sekolahmu.
Sementara aku sebagai pengurus kerohanian. Emm.. persaingan kita pun terus
berlanjut.
Apakah bahagia itu? Ketika di depan kaca
ruangan piket guru terpampang amplop bertulis namaku. Berkop surat sebuah
sekolah ternama di Bandung. Darimu. Itulah bahagia.
"Selamat
ya akhirnya kamu diterima di sekolah impianmu. Dengan beasiswa full. Wow keren!
Aku akui kali ini kamu menang. Semoga kamu mau balas suratku ya biar kita bisa
saling cerita sekolah masing-masing."
Sepenggal paragraf dari
berlembar-lembar suratku padamu. Kali ini aku yang pertama berkirim surat.
Setelah aku tahu kamu menerima beasiswa di salah satu sekolah favorit di
Bandung. Sekolah impianmu. Impianku juga. Namun sayang aku gagal. Sepupumu yang
memberikan alamatmu itu. Dan kamu membalasnya dengan begitu cepat. Kantor pos
pun menjadi saksi berpuluh surat yang terkirim atas namaku dan namamu.
Tak ada lagi sekat hati
antara kita. Aku begitu bebas menumpahkan semua gejolak masa mudaku. Ketika
ujianku jelek. Kamu menjadi motivatorku. Ketika aku berselisih dengan gengku.
Kamu menjadi penasehatku. Begitu pun sebaliknya. Ketika kamu berkeluh kesah,
bersedih, aku selalu mendukungmu. Satu sama lain selalu hadir menemani. Walau
dalam bentuk surat.
Dan entah kapan
mulainya. Kita pun saling menceritakan rahasia hati masing-masing. Tentang
cinta pertama kita. Walau ada perasaan aneh menyelinap ketika aku membaca
kekaguman dan simpatimu pada adik kelas yang kau taksir. Perasaan tak nyaman
yang selalu cepat ku tepis. Hingga akhirnya aku menangis dalam suratku padamu.
Pahat hatiku yang pertama. Ketika cinta pertamaku memilih yang lain. Perasaan
tertolak itu begitu menyakitkan. Karena aku merasa dia memberiku perhatian
istimewa. Tapi kenapa dia memilih yang lain? Kenapa bukan aku?
Kamu pun dengan gagah
mendukungku. Lewat surat. Tentu saja. Kamu mencaci maki dia yang tak memilihku.
Kamu mencela dia yang dipilih cinta pertamaku. Dan saat itulah aku
menyadarinya. Suratmu saja tak cukup. Aku butuh hadirmu. Nyata di depanku. Yang
bisa kubanggakan di depan temanku. Bahwa ada orang yang menyukaiku.
Menyayangiku. Selalu memujiku. Dan berbagi rahasia denganku. Tampan, cerdas,
jago basket dan main musik. Idola di sekolahnya. Sekolah favorit di seluruh
Jawa barat.
Namun saat bersamaan itu
pula aku menyadari. Kamu tak nyata! Kamu mungkin hanya khayalanku. Kamu adalah
Pangeran Kegelapan di komik yang kubaca. Kamu tak pernah ingin bertemu
denganku. Walau setiap libur sekolah aku dengar kamu pulang kampung. Kampung
kita. Tapi kamu tak pernah muncul di depan rumahku. Berbagai alasan kucari agar
bisa lewat di depan rumah orang tuamu. Tiap kali kudengar kabar kepulanganmu.
Dengan hati berdebar bertalu-talu. Tapi kau tak pernah nampak. Bahkan selintas
bayangmu di balik tirai pun tak terlihat. Dan aku pun tak pernah bertanya di
surat tentang itu. Aku begitu takut mendapat penolakan. Aku bahagia hanya
dengan suratmu. Cukup bahagia!
Hingga suatu hari, di
tahun pertama kuliah kita. Kamu di Bandung. Aku di Bogor. Suratmu datang. Penuh
amarah dan dendam. Surat terakhirmu! Yang tak pernah aku balas. Dan kamu pun
menghilang dari hidupku. Sesekali ingatan tentangmu menyelinap dalam bunga
tidurku. Seringkali terbangun di pagi buta dan kau hadir pertama dalam pikirku.
Mereka-reka apa jadinya kita andai surat terakhirmu kubalas.,Hingga enam tahun
kemudian, tiba-tiba kamu muncul. Begitu tak terduga. Memantik harap dan asa
dalam hidupku.
Apakah bahagia itu? Ketika angin
membisikkan tentangmu. Suksesmu. Sukamu. Bahagiamu. Itulah bahagia.
Semilir angin
menerbangkan helain rambutku. Wangi bunga dari shampo yang kupakai mendamaikan
resahku. Pandangku liar ke sekeliling, melihat deretan rumah pohon yang berdiri
anggun dan gagah. Tampak bantal warni warni di dalamnya, sangat mengundang
merebahkan badan, melepas penat. Ada pula meja panjang rendah dari kayu
dikelilingi tunggul-tunggul kayu berbantal ungu yang berfungsi sebagai kursi.
Berbinar mataku melihatnya. Ungu warna favoritku. Dan kamu tahu itu.
Langkah kakiku terendam
pasir yang lembut. Rimbunnya daun menguarkan kesejukan. Debur ombak Nusa Dua
membelai gendang telingaku. Tenda terbuka dengan bantalan empuk untuk lesehan
tampak menggoda. Di ujung pandang, kulihat kapal bekas yang disulap untuk
tempat bersantai. Sebentar lagi kapal itu akan ramai dengan celotehan anak-anak
dan orang tuanya yang bermain peran bajak laut. Seperti yang aku lihat di video
teaser-nya. Video yang kamu kirimkan
padaku via whatsapp.
"Namanya The Bay Bali. Kawasan elit di sepanjang
pantai Nusa Dua Bali. Banyak restoran-restoran keren di situ. Recommended! Temanku baru melamar
pacarnya di salah satu restoran di situ. Lihat videonya romantis banget deh."
"Emm....."
"Lihat Resto Pirates Bay. Itu kamu banget deh. Tree house!!! Your child dream kan?"
"Dan Bumbu Nusantara itu kamu banget. Musik
etnik, kayaknya musik sunda ya? Ontel, becak, gerobak jajanan, rendang
favoritmu, street food citarasa hotel, pasti kamu betah."
"Hahahaa...
betul... betul...you know me so well
yaa."
"Jadi kamu akan
melamar cewekmu di situ? Atau jangan-jangan nikah dan bulan madu sekalian di
Bali ya?"
"Emm... bisa jadi,
sepertinya sih dia suka juga tuh The BayBali."
Dan sekarang di sinilah
aku. The Bay Bali. Tepatnya di Pirates Bay. Melihat rumah pohon
impianku. Setelah tadi makan siang di Bumbu
Nusantara. Melahap semua makanan kesukaanmu. Semuanya terasa hambar. Bukan
karena makanannya tak lezat. Tapi karena kepedihan melumpuhkan indera
pengecapku. Kepedihan yang kubuat sendiri. Mendatangi tempat yang ingin
kunikmati berdua denganmu. Naik ontel menyusuri pantai Nusa Dua. Seperti
impianmu. Menatap sedih becak yang ingin kunaiki dengan dirimu yang mengayuh
pedalnya. Hari ini aku melakukan semuanya. Sendirian. Karena bersamamu adalah
mustahil.
Setitik air bergulir
membasahi pipiku. Kutengadahkan muka menepis butiran kesedihanku. Bambu berayun
di bawah rumah pohon yang kududuki mengayun lembut tubuhku yang sarat dengan
keletihan. Kudekap erat kotak kayu kesayanganku. Kotak ajaibku. Berisi semua
surat darimu. Berisi semua kenangan tentang kita. Yang hari ini ingin aku lupakan.
Di sebelahku terbuka surat terakhirmu. Surat yang telah memisahkan kita
sembilan tahun lamanya. Akankah berbeda jadinya hari ini kalau saja aku tak
pernah mengirimkan surat yang membuatmu marah itu?
Surat yang kubuat karena
aku panik. Takut. Dengan perasaanku sendiri. Karena kamu berjanji akan datang
ke Bogor. Menemuiku setelah hampir tujuh tahun kita tak bertemu. Di hari
istimewaku. Untuk memberiku kejutan. Katamu ingin mengatakan sesuatu yang
penting padaku. Kamu janji setelah itu kita akan semakin dekat. Apakah kamu
ingin aku menjadi pacarmu? Aku tak siap. Aku tak ingin diantara kita berubah.
Aku pun membalas suratmu dengan panjang lebar, mengeluarkan teori, beropini,
berdalil, bahwa pacaran tak boleh. Pacaran tak berguna. Aku tak ingin pacaran.
Kamu pun marah. Marah besar. Entah kenapa. Dan aku pun tak berusaha meredakan
marahmu. Lantas waktu bergulir, menghapus semua kenangan masa remaja kita.
Begitu saja.
Sampai kemudian, sebuah
email dari nama tak dikenal menyapaku. Aku begitu tak percaya ketika akhirnya
kutahu itu adalah dirimu.
From: kinanti
To: arya99
"Bagaimana
kamu tahu ini emailku? Kamu kemana saja selama ini?"
From: arya99
To: kinanti
"Nona Kinan, emailmu ini aku yang bikin. Dan
kamu ceroboh sekali, as usual password-nya tidak diganti. Jangan salahkan aku
ya kalo emailmu sudah aku obok-obok:))"
Dan aku terbahak membacanya.
Bertahun lalu, ketika internet pertama kali marak, kamu membuatkan aku email,
katamu biar tak perlu lagi ke kantor pos. Ah padahal aku sangat suka dengan
tulisan tanganmu yang rapi. Lebih rapi dari tulisan tanganku sendiri. Aku yang gaptek hanya setuju saja. Tapi email itu
tak pernah kita pakai. Sembilan tahun lamanya. Dan entah kenapa selama itu aku
tak pernah mengganti password-nya.
Padahal hanya itu email satu-satunya yang aku punya. Email dengan namamu
sebagai password-nya. Katamu biar aku
selalu ingat denganmu.
Sembilan tahun. Bukan
waktu yang sebentar. Ketika kita tak lagi remaja. Ketika aku berpikir kamu
sudah dikelilingi anak-anak yang lucu dan istri cantik, tentu saja. Ketika aku
sedang menikmati karirku di sebuah bank. Namun di sisi lain didera resah dari
pertanyaan sanak keluarga dan kerabat kapan aku mengakhiri masa lajangku.
Ketika kamu dengan karir impianmu. Sebuah perusahaan minyak internasional di
negara para cowboy sana.
Sembilan tahun bukan
waktu yang sebentar. Banyak yang berubah di antara kita. Namun kedekatan kita
ternyata tak berubah. Aku malah merasakan kita semakin dekat. Ketika aku bebas
bercerita tentang mimpi-mimpiku. Begitu pun dirimu. Salahkah bila
kemudian aku berharap lebih? Berharap bahwa kita kan mewujudkan semua
mimpi-mimpi itu bersama. Salahkan bila aku mengartikan lain perhatianmu. Kantor
pos, email, Facebook, whatsapp, adalah saksi kebersamaan kita. Menyimpan semua
rahasia kita. Kenangan kita. Salahkah bila aku menginginkan lebih darimu?
Aku mengerti ketika kamu
bilang tak bisa pulang ke Indonesia setiap tahun karena tiket pesawat yang
mahal. Aku pun paham ketika kamu bilang ingin membahagiakan orang tua dan
adik-adikmu sebelum kamu mencari kebahagianmu sendiri. Yang aku tak mengerti
adalah konsep mapan dalam hidupmu. Kamu bilang baru akan menikah setelah kamu
mapan. Setelah tugasmu berbakti pada keluarga selesai. Sampai kapan? Sampai lima
tahun setelah email pertamamu padaku, kita hanyalah sahabat. Sahabat maya.
Sungguh ironis. Aku tak ingin lagi menunggu. Lima tahun sudah terlalu lama
bagiku.
Ah, mungkin aku yang
terlalu besar kepala. Mengartikan ada sesuatu di antara kita. Ada yang
istimewa. Bahkan 15 tahun lalu ketika kamu marah besar padaku, mungkin itu juga
aku yang terlalu percaya diri. Bahwa kamu ingin jadi pacarku. Ternyata semua
hanyalah ilusiku. Ilusi perawan tua. Sungguh menyedihkan.
Topik tentang Pernikahan
selalu membuat kita bersitegang. Kamu marah besar ketika kubilang pengecut. Aku
tahu kata-kataku kasar. Tapi aku tak akan menarik kata-kataku. Dengan karir
yang gemilang. Dengan gaji dolar. Apa yang kau takutkan? Banyak laki-laki yang
seperdelapan gajimu dengan gagah berani memasuki bahtera rumah tangga. Kamu
berlindung dibalik mapan hanya untuk menutupi ketakutanmu berkomitmen.
Ketaksanggupanmu dalam mengambil tanggung jawab.
Kamu pun balas
mencelaku. Bahwa aku perempuan pemilih. Sampai usia kepala tiga terlewati tak
jua menikah karena sibuk membuktikan diri bisa lebih dari lelaki. Bisa
mengalahkan para pria. Aku egois. Begitu katamu. Dan kita pun berbalas melempar
cela. Penuh emosi. Begitu kekanakkan. Hingga aku pun menyadari. Kita memang tak
bisa bersama. Semua hanya khayalanku. Apalagi ketika kamu bilang kalau calon
istrimu tak keberatan menunggumu. Aku kalah. Telak!
Akhirnya aku pun
menyambut perjodohan yang ditawarkan sepupuku. Bukan karena aku sakit hati
padamu. Bukan pula pelarian darimu. Bukan juga balas dendam padamu. Aku hanya
ingin melanjutkan hidupku. Berbagi hidup dengan laki-laki yang memang peduli
padaku. Yang akan bersama-sama menghadapi semua liku kehidupan. Tak hanya
senang. Tapi juga duka dan susah. Aku pun mengucapkan selamat tinggal padamu.
Senja perlahan mulai
turun di langit Nusa Dua Bali. Aku melangkahkan kaki ke arah pantai.
Meninggalkan gelak tawa anak-anak dan orang tuanya yang berbahagia. Senja
membuat sekelilingku berwarna kuning emas. Air mata mengaburkan pandangku. Aku
harus mengubur kotak ajaibku sebelum matahari terbenam. Entah bagaimana caranya
semua kenangan tentangmu harus segera terkubur. Agar aku bisa membuka lembaran
baru.
Apakah bahagia itu? KAMU!!!
Aku sangat suka fairy tale. Karena kisahnya selalu happy ending. Namun belakangan ini aku
belajar untuk menerima kalau kisah kita, aku dan kamu, tak akan berakhir
bahagia. Walau sosokmu kini berdiri di depanku. Di Bali. The Bay Bali. Dengan napas terengah. Rasanya tak percaya ketika
tadi mendengar namaku dipanggil. Puluhan tahun tak melihatmu. Aku langsung
mengenalimu. Sosokmu di Facebook telah melekat di benakku.
"Sahabatku
bercerai. Terpisah dari anak-anaknya. Hanya karena istrinya tak suka dia
membantu keluarganya. Aku tak ingin seperti dia, Kinan. Harus memilih seperti
itu. Makanya aku bertekad untuk membahagiakan dulu keluargaku. Baru aku memikirkan
untuk menikah. Itulah ketakutanku yang tak pernah kuceritakan padamu. Aku malu.
Dan kamu benar. Membahagiakan orang tua tidak akan pernah selesai sampai kapan
pun. Kini aku sudah siap untuk berkomitmen membina keluargaku sendiri."
"Aku tahu. Selamat
Arya, untukmu dan calon istrimu. Aku sudah melihat-lihat The Bay Bali. Sangat cocok untuk honey moon. Mungkin kita bisa double
honeymoon, hahahaha....," tawaku tersembur. Perih. Perih.
"Tapi kini aku tak
punya apa-apa, Kinan," Arya tak mempedulikan kata-kataku. "Mungkin
aku pun akan kehilangan pekerjaanku karena meninggalkan proyek untuk terbang ke
sini. Aku begitu kalut ketika mendengar kamu akan menikah. Aku takut
kehilanganmu. Aku tak punya rumah. Mobil juga tidak ada. Bahkan tabungan pun
ludes dipinjam adik iparku untuk investasi yang ternyata investasi bodong. Tapi
aku masih punya semangat dan tekad untuk memulai lagi dari nol. Mau kah kamu
menemaniku dalam keadaan seperti ini, Kinan?"
"Mak-sud-mu
apaa?" Kataku terbata tak mengerti arah pertanyan Arya.
"Sejak 20 tahun
lalu kamu lah yang aku harapkan, Kinan. Tapi aku tak punya keberanian
menemui. Kamu terlalu tinggi bagiku. Aku hanya berani menyapamu lewat
surat. Makanya aku begitu terpukul ketika dulu kuliah kamu menolakku secara
tidak langsung. Seluruh harga diriku rontok. Benar katamu aku memang
pengecut."
Mataku terbelalak
mendengar pengakuan Arya. Rasanya seperti mimpi. Dan aku takut itu memang hanya
mimpi saja.
"Ini adalah cincin
yang aku beli dari gaji pertamaku. Untukmu, Kinanti. Karena memang dari dulu
sampai sekarang hanya ada dirimu dalam hidupku. Tak ada perempuan lain."
Arya berjalan menghampirku sambil membuka sebuah kotak cincin. Matahari yang
sempurna tenggelam mengaburkan sosok lelaki yang telah kukenal lebih dari
separuh hidupku.
"Aku mencintaimu
Kinanti. Dulu-kini- dan nanti. Maukah kamu menjadi istriku? Please marry me?!" Pinta Arya
dengan suara bergetar.
Air mata tumpah
mengaburkan pandangku. Namun aku bisa melihat jelas sosok di depanku. Matanya.
Hidungnya. Mulutnya. Rambutnya. Yang dulu ku kenal ketika masih berseragam
merah putih. Kini menjelma jadi sosok tegap dan tampan. Sosok yang telah
menemani hari-hariku. Sosok yang aku dambakan selama ini. Yang menjadi alasanku
datang ke The Bay Bali. Untuk
melupakannya. Tapi kini dia dating jauh-jauh dari negeri paman sam untuk
melamarku. Tentu saja aku menganggukkan kepala, mengiyakan. Urusan perjodohan
biar nanti kubereskan dengan sepupuku. Arya tersenyum senang melihat anggukan
kepalaku. Tangan kami pun terpaut erat. Tiba-tiba aku lupa kalau tadi sudah
memesan makanan di Pirates Bay. Semoga para pegawai Pirates Bay tidak
memarahiku karena pergi begitu saja. Senja di The Bay Bali menjadi saksi
kebahagian kami. Aku dan Kamu.